“Menikahlah sebelum ayah pergi untuk selama-lama nya nak”! bisik ayah secara lirih di telingaku, ku lihat tubuhnya yang terbujur lemah. Ya ayahku sakit, setelah kejadian beberapa hari lalu penyakit jantung ayah kambuh yang menyebabkan tubuh tua rentannya tak berdaya. Pesan itu seolah menjadi panah yang begitu menusuk jantungku, serasa aku memikul beban berat di bahuku. Gadis mana yang akan aku nikahi, akankah kekasihku yang baru memulai untuk menggapai cita-citanya mau ku nikahi. Oh rasanya tak mungkin.Leni itulah nama kekasihku yang baru memulai pendidikannya di universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka untuk mecapai cita-citanya sebagai seorang ahli gizi. Ya aku harus menemui dia.
***
Aku berdiri disini menunggunya, menunggu di sebuah taman kota tempat aku dan dia biasa bertemu. Ku lihat dari kejauhan ia yang berjalan perlahan namun tegas, sekarang ia tepat disampingku dengan senyumnya yang mampu meneduhkan jiwaku. Batinku “oh tuhan, akankah gadis yang ku cintai ini menerima lamaranku ?”. lidahku serasa kelu hanya angin sepoy sepoy yang menemani kebisuan antara aku dan dia.”Kak ?” suara lembutnya memecahkan keheningan. “Ya Len, Leni maukah menikah dengan kakak ?” kalimat itu tak terduga terucap dari bibirku, ku lihat wajah cantik nya penuh keheranan. “apa yang baru saja kaka katakan, betulkah yang aku dengar tadi,tak tuli kah telingaku ini ?” pertanyaan bertubi-tubi terlontar dari dia. “leni harus kamu ketahui, semua ini bukan rencana kaka, kaka tahu pernikahan sedini ini tidak mungkin di lakukan tapi semua ini demi ayah, leni tahu betul bukan bahwa ayah sedang sakit, kemarin ayah berpesan kepada kaka ‘menikahlah sebelum ayah pergi untuk selama-lamanya’.
Kaka serius melamarmu, karna kamu adalah gadis yang kaka cintai,mohon dipikirkan kembali dan sekali lagi kaka katakan, maukah leni menikah dengan kaka ?” tak terasa air mataku menetes di pipi yang tak mampu bertahan di rengkuhan kantungnya. leni terdiam. Aku tahu semua ini sulit antara cita-cita dan cinta.kemudian terdengarlah leni menjawab dengan bergetar “jujur saja aku tak pernah mencintaimu” ia terdiam sejenak “sehebat ini” makin terdengar isak tangisnya.”tapi aku harus memilih, ada orang tua yang menaruh harapan padaku. Bagaimana mungkin aku menikah di usia sedini ini, semua itu tak mungkin kak, maaf aku tak bisa menerima lamaran kaka” leni pergi berlalu meninggalkanku, ku tahu semua ini berat untuknya tapi apapun keputusannya aku dapat memahami.
***
Dua hari berlalu setelah pertemuan itu keadaan ayah belum membaik, aku berharap Tuhan menyembuhkan ayahku tak mengambil senyumnya dari hadapanku dan ibu ku meski rasanya itu tak mungkin tapi harapan itu masih tersimpan di dalam relung bathinku. Ibu yang selalu setia menemani ayah tak pernah mampu berhenti menangis, yah aku tahu rasanya sakit seolah aku pun ingin menggantikan sakitnya ayah, aku seorang calon dokter tapi tak mampu menyembuhkan ayah. Aku rangkul ibu dan ku ceritakan apa yang telah ku usahakan untuk memenuhi pesan dari ayah. “ibu, leni tak menerima lamaranku” kemudian ibu menjawab masih dengan isak tangisnya “lalu bagaimana nak ?” “entahlah bu, bagaimana jika aku tak mampu memenuhi amanat ayah ? ku berbalik tanya kepada ibu. “temuilah airin sahabatmu, mungkin ia mampu memecahkan masalah ini nak”
***
Rumah mewah bercat putih itu adalah tempatku berdiri saat ini menunggu sahabatku, aku sedang berada dirumah sahabatku sejak kecil. Dialah tempatku mengadu, tempatku berbagi, dan semoga kali ini dia mampu membantu menyelesaikan masalahku. Di hadapan airin aku ceritakan semua masalahku. “apa yang harus aku lakukan fano, tidak mungkin aku mampu mencarikanmu gadis yang mau di nikahi dengan situasi seperti ini” respon airin kemudian.
Harapanku punah, airin pun tampak kebingungan dengan situasi seperti ini. Terlintas di benakku mengapa tidak airin yang ku nikahi, toh pernikahan ini hanya untuk memenuhi amanat ayahku “bagaimana jika kamu yang ku nikahi ? tolonglah aku airin, tidak mungkin aku meminta gadis-gadis di jalan untuk menikah denganku. Seperti katamu tidak sulit mencari Gadis yang mau di nikahi dengan situasi seperti ini bahkan leni kekasihku menolakku, harapanku hanya ada padamu airin” aku bersimpuh dihadapan airin. Airin sungguh kaget mendengar ucapanku “lalu bagaimana dengan kekasihku, 9 tahun bukanlah waktu yang singkat yang telah ku lalui bersama dia, tak mungkin aku sanggup mengatakan padanya, tak mungkin aku sanggup mengkhianatinya,sanggupkah kamu menghianati sahabatmu sendiri,lalu bagaimana dengan orang tuaku sedangkan di satu sisi akupun ingin membantumu”. Aku terus membujuk airin, aku tahu dia sahabat terbaikku sepanjang masa, tak mungkin dia membiarkanku sendiri dalam kesulitan ini. Ya akhirnya aku mampu meyakinkan airin bahwa semuanya akan baik-baik saja setelah pernikahan kami berdua. Tugasku sekarang adalah menemui kedua orangtua nya dan kekasihnya.
***
“kau anggap apa pernikahan, sebuah permainan ? bagaimana mungkin kau mau menikahi putri semata wayangku dengan keadaan seperti ini, akan ada banyak pihak yang tersakiti” cercaan ayah airin kepadaku yang membahana di ruang tamu rumah airin, aku harus menjawab dengan hati-hati, semua ini tidak mudah demi ayahku “aku tahu om, pernikahan bukan permainan, maafkan aku jika yang ku mintai tolong adalah putri om karena putri om adalah sahabatku,ini semua demi amanah ayahku”. “pergi kau airin, terima lamaran sahabatmu itu tapi jangan harap ayah mau menjadi wali di pernikahanmu” suara ayah airin yang keras membahana seakan mengobrak-abrik seluruh hatiku, tuhan, aku telah mengorbankan kebahagiaan sahabatku, menyakiti hati kekasihnya, juga menyakiti hati kekasihku leni. Hatiku miris membayangkan leni yang mungkin tiada hentinya meratapi semua kejadian tak terduga ini.
***
Esok 11 April 2014 adalah hari yang ku tentukan untuk menikahi airin dan sekarang airin akan menemui kekasihnya di kampus tempat kami kuliah bersama. Ku perhatikan mereka berdua dari kejauhan, sepertinya airin menangis.
***
“Tawa denganmu beberapa hari yang lalu ternyata hanya semerbak yang melintas tanpa menetap. Sebab dalam detik ini berita yang kamu sampaikan meluluhkan benteng tawaku. Meluruhkannya jadi debu, meninggalkan aku sendiri dalam tatapan nanar berbayang, tak fokus oleh sebab mata ini terpenuhi air yang mengamuk melepaskan diri dari rengkuhan kantungnya.” Itulah kata yang di ucapkan alif kekasih airin saat mendengar penjelasan airin.airin tak kuasa menahan tangisnya. 9 tahun laki laki inilah yang menemaninya, yang mencintainya, yang memahami segala kekurangannya. “oh tuhan, aku harus bagaimana, sahabat ku membutuhkanku tapi aku tak yakin aku sanngup melewati detik-detik itu, pernikahan dengan sahabatku, dan kekasih 9 tahunku yang di utus ayahku untuk menjadi waliku” bathin airin.”maafkan aku,maafkan aku,maafkan aku” airin bersimpuh di hadapan laki-laki yang teramat sangat ia cintai. “aku mengerti sungguh aku pun memahami, sebuah amanat yang sangat penting di jalani apalagi itu dari orang tua, pergilah airin, berbuat baiklah, berjalanlah di jalan yang benar, ingat pesanku lakukan semua ini karna Allah, insya Allah aku sanggup melangkah meski hanya dengan bayangmu, semua ini membuatku belajar akan keikhlasan, membuatku belajar apa arti kesetiaan, membuatku belajar apa arti persahabatan, tolonglah sahabat kita itu, aku ikhlas, lebih tepatnya belajar untuk ikhlas, ketahuilah hati ku sakit melepaskanmu setelah 9 tahun lamanya kita bersama, begitu banyak hal yang kita lewati, saat masa cinta monyet kita saat smp dan kedewasaan yang tumbuh ketika kita berdua duduk di bangku kuliah, airin cintaku takkan pudar, tak kan hilang di lekang waktu, biarkan waktu berputar dengan rotasinya dan biarkan aku sendiri” tegas alif dengan airmata bercucuran di pipinya.
Aku tahu inilah saatnya aku menemui kedua sahabatku alif dan airin, aku memeluk alif “maafkan aku sob” itulah yang mampu aku ucapkan “aku akan jaga airin” lanjutku.“ya jaga airin untuk aku” tegas alif sekali lagi.
***
11 Nopember 2011, aku dan airin datang ke rumah sakit tempat ayah di rawat. Tak ada pesta meriah, tak ada makanan khas di acara pernikahan, tak ada pakaian khas pernikahan. Hari ini aku hanya memakai kemeja hitam tanpa jas dan tanpa sepatu pernikahan. Airin pun tak memakai gaun pengantin ia hanya mengenakan kaos putih panjang. Suasana seperti ini memang bukan seperti acara pernikahan meskipun pada kenyataannya akan melaksanakan akad nikah di hadapan ayah. Saat masuk ke ruangan ayah seluruh keluarga besarku sudah berkumpul, hanya beberapa dan benar – benar yang terdekat, tidak semua nya aku beritahu.
Ada alif di samping ibuku dengan mata lebamnya, alif yang di utus menjadi wali oleh ayah airin, tak ada keluarga airin satupun yang sudi datang ke acara pernikahan kami. Miris, sungguh miris hati ku. Aku telah hancurkan impian airin sahabatku. Aku telah hancurkan angan-angan alif sahabatku, aku telah kecewakan keluarga airin dengan keputusanku, aku telah mengobrak-abrik hati leni kekasihku. Tapi, apa lagi yang mampu aku perbuat, semua demi ayah, demi ayah.
Aku sempatkan menelpon leni sebelum acara akad nikah di mulai. “assalamualaikum,” kata ku setelah telpon di terima “ya waalaikumsalam” jawab leni. Aku bisa menebak dari suaranya, leni sangat terpukul, suaranya begiti serak dan berat mungkin karena menangis semalaman, “maafkan kakak leni, semua ini kakak lakukan demi ayah” kata ku dengan terisak, leni diam, suara di sebrang sana hanya isak tangis. Kemudian telpon mati mungkin karena leni sudah tak sanggup berbicara lagi. TUHAN, aku makin merasa bersalah. Tunjukan aku petunjukmu ya Robb.
***
Penghulu pernikahan aku dan airin sudah datang, ayah tersenyum bahagia dan aku berusaha melesapkan kegalauan hati ku, ayah aku ingin ayah tersenyum dalam sakit ayah. Kalimat akad nikah pun di ucapkan. Aku dan airin mengikrarkan janji sebagai seorang suami istri, sungguh seseuatu yang tidak pernah sedikitpun terlintas di benakku. Bagaimana perasaan alif yang menjadi wali untuk pernikahan kekasihnya, “maafkan aku alif” bathinku.
“Sungguh, kesalahanku kali ini adalah berada disini. Menyetujui sesi pengabadian cinta dua insan ini, karena sang calon mempelai laki-laki ini yang mengiba padaku kemarin sore” bathin alif dengan penuh rasa perih. Setelah beberapa jam akhirnya acara akad nikah selesai. Kini aku sudah sah menjadi suami dari sahabatku airin, airin tak mampu membendung air mata nya, ia terus menangis, dan aku mengijinkan airin pergi bersam alif untuk menyelesaikan masalah nya dengan alif yang belum selesai, tentunya tanpa sepengetahuan ayah, aku tak ingin ayah sedih jika ayah mengetahui bahwa pernikahan kami ini tidak berlandaskan cinta. Keluarga besarku sudah pulang sungguh mengharu biru acara pernikahan ku itu seisi ruangan menangis begitu juga dengan dokter yang merawat ayah yang ikut menyaksikan pernikahan ku.
Kini hanya tinggal aku, ayah, dan ibu di ruangan itu di apit oleh dinding-dinding rumah sakit yang seolah menjadi saksi kepedihan keluargaku. “kemana airin nak.?” Tanya ayah dengan suara parau. Gugup aku menjawabnya, berusaha menguras otak ku untuk menjawab pertanyaan ayah dengan tepat. “hmm e e e airin pergi k minin market yah untuk membeli bahan makanan untuk masak nanti sore dan makan keluarga kita.” Jawabku masih dengan gugupku. “sungguh, menantu yang baik, pandai betul kamu memilih calon istri” sambut ayah dengan senyumnya yang khas. “iya ayah” tegasku.
***
Maaf, aku gagal memperjuangkan kita, airin. Pintamu kemarin telah aku penuhi kini. Tanpa gugatan, aku menjalankan peranku dalam pengabdian cintaku atasmu. Meski dalam relung ini jiwa menjerit meronta "seharusnya aku yang ada dalam pernikahan itu bersamamu, seharusnya aku yang menjabat tangan penghulu itu dan seharusnya aku yang mengucap janji sehidup semati bersamamu, seharusnya aku yang mencium keningmu setelah ikrar di ucapkan” kata-kata alif seolah meruntuhkan dunia di atas kepala airin.
Airin sakit mendengarnya, airin tak mampu menghentikan air mata yang terus mengalir deras dari mata nya. “maafkan aku alif, maafkan aku, itupun mimpiku, yang ku inginkan kamu yang menjadi suamiku tapi aku tak sanggup pula melihat kesedihan sahabat kita, pilihan ini sungguh berat bagi ku, mengertilah aku alif, mengerti aku, mungkin aku memang bukan bagian dari tulang rusukmu, aku tak mungkin mampu melupakanmu, melepaskan bayangmu dari benakku, terimakasih alif selama 9 tahun kamu menjaga aku, menjadi seseorang yang paling mengerti aku, menjadi sosok yang selalu aku kagumi dan aku cintai, kini biarkanlah aku pergi dengan sahabat ku. Ini pilihan yang berat tapi dalam hukum islam aku sudah menjadi istrinya yang sah”. Airin bersujud di hadapan alif. “ya pergilah” mungkin hanya dua kata itu yang mampu di ucapkan alif dan airin pergi berlalu dengan uraian air mata di pipinya.
***
Sekembali nya airin ke rumah sakit di ruangan ayah fano dirawat sudah tidak ada siapa-siapa. “mungkinkah ayah sudah sembuh” pikir airin “tapi rasanya tidak mungkin karena kata dokter ayah masih kritis” lanjut batinnya. Kemudian airin bertanya kepada suster. “sus kemana bapak yang dirawat di ruangan ini”. “sudah meninggal mba jam 3 sore tadi, baru saja jenazah nya di bawa pulang” jawab suster itu. “inalilahi, oh Tuhan bagaimana dengan fano”. Airin pun bergegas ke rumah pano.
***
“airin” kataku dan ku peluk airin sejadi-jadinya. Setelah airin tepat berada di sebelahku dan melihat tubuh ayah sudah terbujur kaku. Air mata airin berjatuhan di mataku mungkin airin pun bisa merasakan apa yang aku rasakan. Hatiku begitu hancur, Tuhan telah mengambil senyum ayah dari hadapan aku dan ibu ku. “tabah fano, ini sudah takdir Allah” airin mencoba tenangkan hati ku. “hari ini adalah hari yang begitu berat bagiku airin pagi nya aku menikahi kamu sahabat karibku merebutmu dari alif sahabatku demi amanat ayah, tapi detik ini aku kehilangan ayah, ayah benar-benar pergi setelah aku menikah” bisikku di telinga airin mencoba mengeluarkan segala runtuhan kekacauan hatiku.
Ayah di makamkan malam ini juga, ibu tak hentinya menangis tak ubahnya anak kecil yang kehilangan barang kesayangannya, sengaja tak ku beritahu leni agar tak menambah air mata orang-orang yang aku kasihi. “Tuhan begitu berat cobaanmu. setelah semua kejadian ini akankah ada kebahagiaan untukku, akankah ada kehidupan untukku, aku tak sanggup, aku tak mampu melihat ayah di makamkan, melihat tubuh ayah ditimbun tanah, melihat tubuh ayah berbalutkan kain kafan, melihat air mata ibu yang tak hentinya terjatuh. Ya Allah peluklah aku, aku tak mampu hadapi semua ini, jika perlu ambilah nyawaku agar aku tak lagi melihat air mata yang jatuh dari orang-orang yang ku cintai” bathinku sambil bersimpuh di kuburan ayah.
Sendiri aku hanya ingin sendiri di sini. “Ayah mengapa ayah begitu cepat meninggalkan fano, mengapa ayah meninggalkan fano dan ibu, tak inginkah ayah menggendong cucu dari anak fano, maafkan fano ayah selama ini fano tak pernah berbakti kepada ayah, maafkan fano yang belum mampu bahagiakan ayah, seandainya fano mampu mengulang waktu fano ingin menjadi anak ayah yang baik, fano ingin berbakti kepada ayah, bangun ayah, bangkitlah kembali, peluk fano ayah, rangkul fano ayah, fano tak sanggup menjaga ibu sendiri tanpa ayah, fano tak sanggup hidup di dunia ini tanpa ayah, fano ingat ketika ayah menolong fano yang sedang di pukuli ibu karena fano nakal, fano ingat ketika ayah pertama kalinya membelikan fano mobil-mobilan kesukaan fano, fano ingat ketika ayah mengajari fano main sepeda, ayah fano ingin bersama ayah, lebih baik ayah yang menyaksikan fano meninggal daripada fano yang melihat semua kenyataan ini. Ayah, meskipun fano telah jalankan amanat ayah rasanya fano belum puas melihat senyum ayah, rasanya fano belum puas mendengar nasihat-nasihat ayah. Ayah, fano ingin ayah kembali”.
Aku sadar, aku hanya berbicara dengan gundukan tanah kuburan ayah. Hingga airin pun datang mengahmpiriku. “ayo pulang fano, ayah sudah pergi, ikhlaskan ayah agar ayah tenang di alam sana”. Akupun beranjak dengan kaki gontai. “ya aku harus ikhlaskan ayah, maafkan aku airin demi amanat ayah telah aku renggut kebahagiaanmu”. “aku ikhlas” dengan senyum airin yang dengan penuh keikhlasan. Sekarang aku harus memulai hidupku kembali, amanat ayah tak hanya sampai dengan ke pernikahan tetapi terlebih lagi kepada bagaimana aku menjalani hidup ini, bagaimana menjadi diri aku yang berguna bagi orang lain, bagaimana menjadi seseorang yang mampu mambahagiakan orang-orang di sekitarku. “terimakasih ayah” gumamku. Aku genggam tangan airin dan aku berjanji tak kan lagi ku buat air matanya terjatuh. Kami pun berlalu dan pergi meninggalkan pemakaman ayah.
http://www.lokerseni.web.id/2013/04/demi-sebuah-amanat-ayah-cerpen-sedih.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar