Saya seorang ibu dan seorang guru di sebuah sekolah pinggiran di kota Karanganyar..
Menjadi seorang guru awalnya bukan cita-citaku, tapi setelah bertahun-tahun menekuninya akhirnya Aku menjadi “jatuh cinta” bahkan menurut suami , Aku terlalu menghayati peran menjadi seorang guru. Inilah ceritaku yang membuat hati sedih bahkan kadang menangis…
Di tahun 2004 , waktu itu masih bulan September , Aku baru mulai mengenal beberapa siswa Kelas X yang kuajar.. dari beberapa siswa itu sebut saja Anan yang menarik hati ini karena berpenampilan rapi, ganteng, pinter dan aktif di kelas. Suatu hari saat mengajar di kelas X 1, kelas yang letaknya bersebelahan dengan kelas X2 kelas Anan. Aku terkejut ketika tiba-tiba banyak siswa perempuan yang menjerit dan menangis. Dengan penuh tanda tanya ku hampiri mereka. Masih dengan rambut basah dan wajah sembab seorang siswa perempuan bercerita bahwa Anan tenggelam di kolam renang. Deg ! sebuah palu besar seperti menghantam dada ini. Tak sanggup menghadapi jeritan murid-murid perempuan Aku menuju ke kantor guru. Di ruang ini beberapa guru sudah berkumpul membicarakan peristiwa itu. Ternyata benar . Hari itu di kelas X2 jam 1-2 pelajaran Penjaskes dan sedang praktek renang di kolam renang kota .Seluruh siswa mengikuti kegiatan itu. Dan ternyata Anan menyembunyikan penyakit rahasianya AYAN. Barangkali ia malu kepada teman-temannya bila harus mengakui penyakitnya. Sebenarnya Anan sudah meminta kepada pakdenya untuk mendampingi . Tetapi.. .takdir memang tidak bisa dilawan. Akhirnya ia menghembuskan nafas terakhirnya di kolam renang. Yang paling shock tentu saja adalah guru penjaskes sekolah kami. Sampai saat ini sang guru tidak berani mengajar kompetensi renang. Setiap kali materi renang bapak guru tersebut selalu meminta tolong kepada sesama rekan guru penjaskes. Sehari kemudian kami semua melayat dan menghantarkan Anan ke pemakaman. Belum banyak guru yang mengenal dan mengingatnya karena baru dua bulan ia menjadi siswa di SMA kami. Tapi Aku sangat mengingatnya. Aku meneteskan air mata saat ulangan di kelas X2 kubagikan . Nilai sempurna miliknya, “1o “terasa menjadi salam perpisahan yang pahit . Itulah kali pertama Aku menangis untuk seorang anak didik .
Tangis yang kedua adalah saat melepas seorang murid yang menjadi tanggung jawab sebagai wali kelas mengundurkan diri/ keluar dari sekolah. Tiap tahun selalu ada kasus siswa yang terpaksa keluar . Karena kekurangan biaya, karena hamil dan karena menghamili. Yang terakhir inilah yang terjadi pada Beni sebut saja begitu . Sejak awal duduk di kelas XI Ips, ia sudah terlihat murung. Beberapa kali disinggung ia hanya menghindar dengan mengatakan ia mempunyai masalah keluarga. Sungguh sangat kaget ketika suatu hari seorang teman guru menceritakan peristiwa yang sebenarnya telah terjadi. Akibat pergaulan bebas atau akibat kebodohannya ia harus bertanggung jawab terhadap kehamilan seorang gadis. Ia sebenarnya tidak yakin bila ia yang telah menabur benih di rahim si gadis . Menurut penuturannya si gadis telah melakukan hubungan bebas dengan beberapa lelaki tidak hanya dengannya. Karena tidak bisa mengelak Beni harus menghadapi sidang tuntutan orang tua si gadis dan akhirnya harus menikah. Dengan menangis Beni menyatakan keinginannya untuk tetap bisa sekolah. Tapi.. sudah menjadi kebijakan sekolah kami bahwa siswa yang terbukti melakukan seks bebas tidak diperkenankan terus bersekolah.. yah.. dengan berat hati , saya dan guru BP harus mengembalikan Beni kepada Ibunya yang hanya seorang buruh cuci. Sebenarnya hati kecilku ingin memberontak . Bila siswa dipaksa putus sekolah karena kesalahannya bagaimana masa depan mereka. Beni telah merasakan akibat dari kesalahannya. Hukuman sosial sudah cukup berat ia terima. SMS terakhir darinya berbunyi ” Bu, doakan saya biar kuat menghadapi cobaan ini. doakan saya ya Bu ” . Kali ini aku tidak sampai menitikkan air mata, hanya hati ini kembali terluka. Sedih. Tak mampu menolongnya tetap sekolah. Masih banyak cerita sedihku .Inilah yang terekam di otak:
Tumpukan Ijazah SMA yang tidak diambil oleh pemiliknya di ruang arsip menjadi saksi bahwa kemiskinan masih menjadi sahabat orang tua anak-anak SMA . Puluhan anak pandai harus menerima nasib bahwa esok tak akan mampu melanjutkan ke perguruan tinggi. Daftar tagihan SPP yang panjang saat penerimaan rapor adalah pil pahit yang harus aku telan setiap kali penerimaan rapor. Menjadi guru di sekolah pinggiran memang akrab dengan kata kemiskinan dan perjuangan. Kepada siapa kuadukan cerita sedih ini ?? Biarlah kubagi sedikit kepada teman-teman….
http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/04/30/cerita-sedih-seorang-guru-361016.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar