PPDB

PENDIDIKAN..... SDN1KARANGSENTUL......BERILMU, BERKUALITAS, BERLANDASKAN IMAN ----------:SDN1Karangsentul.com......Informasi Pengetahuan Populer,dan Edukatif

X

...

Rabu, 17 April 2013

Kisah Sedih: Maaf Bu, Saya Mencopet Karena Ibu Saya Sakit

Saya pernah melihat anak muda itu di jembatan penyeberangan, entah seminggu atau dua minggu yang lalu. Saya pulang membeli bumbu kue waktu itu. Tiba-tiba di atas jembatan penyeberangan, saya ada yang menabrak, saya hampir jatuh. Si penabrak yang tidak lain adalah anak muda yang gelisah dan mondar-mandir di depan rumah itu, meminta maaf
dan bergegas mendahului saya. Saya jengkel, apalagi begitu sampai di rumah saya tahu dompet yang disimpan di kantong plastik, disatukan dengan bumbu kue, telah raib.

Dada saya berdebar menyaksikannya. Apa maksud anak muda yang bisa jadi umurnya tak jauh dengan anak sulung saya yang baru kelas 2 SMU itu? Melihat tingkah lakunya yang gelisah, tidakkah dia punya maksud buruk dengan keluarga saya? Mau merampok? Bukankah sekarang ini orang merampok tidak lagi mengenal waktu? Siang hari saat orang-orang lalu-lalang pun penodong bisa beraksi, seperti yang banyak diberitakan koran. Atau dia punya masalah dengan Adhi anak saya?

Kenakalan remaja saat ini tidak lagi enteng. Tawuran telah menjadikan puluhan remaja meninggal. Saya berdoa semoga lamunan itu salah semua. Tapi mengingat peristiwa buruk itu bisa saja terjadi, saya mengunci seluruh pintu dan jendela rumah. Di rumah ini, pukul sepuluh pagi seperti ini, saya hanya seorang diri. Kang Dwi, suami saya, ke kantor. Adhi sekolah, Anna yang sekolah sore pergi les Inggris, dan Bi Dian sudah seminggu tidak masuk.

Jadi kalau lelaki yang selalu memperhatikan rumah saya itu menodong, saya bisa apa? Pintu pagar rumah memang terbuka. Siapa saja bisa masuk.

Tapi mengapa anak muda itu tidak juga masuk? Tidakkah dia menunggu sampai tidak ada orang yang memergoki? Saya sedikit lega saat anak muda itu berdiri di samping tiang telepon. Saya punya pikiran lain. Mungkin dia sedang menunggu seseorang, pacarnya, temannya, adiknya, atau siapa saja yang janjian untuk bertemu di tiang telepon itu. Saya memang tidak mesti berburuk sangka seperti tadi. Tapi dizaman ini, dengan peristiwa-peristiwa buruk, tenggang rasa yang semakin menghilang, tidakkah rasa curiga lebih baik daripada lengah?

Saya masih tidak beranjak dari persembunyian, di antara kain gorden, di samping kaca nako. Saya masih was-was karena anak muda itu sesekali masih melihat ke rumah. Apa maksudnya? Ah, bukankah banyak pertanyaan di dunia ini yang tidak ada jawabannya.

Terlintas di pikiran saya untuk menelepon tetangga. Tapi saya takut jadi ramai. Bisa-bisa penduduk se-kompleks mendatangi anak muda itu. Iya kalau anak itu ditanya-tanya secara baik, coba kalau belum apa-apa ada yang memukul.

Tiba-tiba anak muda itu membalikkan badan dan masuk ke halaman rumah. Debaran jantung saya mengencang kembali. Saya memang mengidap penyakit jantung. Tekad saya untuk menelepon tetangga sudah bulat, tapi kaki saya tidak bisa melangkah. Apalagi begitu anak muda itu mendekat, saya ingat, saya pernah melihatnya dan punya pengalaman buruk dengannya. Tapi anak muda itu tidak lama di teras rumah. Dia hanya memasukkan sesuatu ke celah di atas pintu dan bergegas pergi. Saya masih belum bisa mengambil benda itu karena kaki saya masih lemas.

----------------------o0o---------------------------

Dan hari ini, anak muda yang gelisah dan si penabrak yang mencopet itu, mengembalikan dompet saya lewat celah di atas pintu. Setelah saya periksa, uang tiga ratus ribu lebih, cincin emas yang selalu saya simpan di dompet bila bepergian, dan surat-surat penting, tidak ada yang berkurang.

Lama saya melihat dompet itu dan melamun. Seperti dalam dongeng. Seorang anak muda yang gelisah, yang siapa pun saya pikir akan mencurigainya, dalam situasi perekonomian yang morat-marit seperti ini, mengembalikan uang yang telah digenggamnya. Bukankah itu ajaib, seperti dalam dongeng. Atau hidup ini memang tak lebih dari sebuah dongengan?

Bersama dompet yang dimasukkan ke kantong plastik hitam itu saya menemukan surat yang dilipat tidak rapi. Saya baca surat yang berhari-hari kemudian tidak lepas dari pikiran dan hati saya itu. Isinya seperti ini:

----------------------------------------------------
“Ibu yang baik…, maafkan saya telah mengambil dompet Ibu. Tadinya saya mau mengembalikan dompet Ibu saja, tapi saya tidak punya tempat untuk mengadu, maka saya tulis surat ini, semoga Ibu mau membacanya.

Sudah tiga bulan saya berhenti sekolah. Bapak saya di-PHK dan tidak mampu membayar uang SPP yang berbulan-bulan sudah nunggak, membeli alat-alat sekolah dan memberi ongkos. Karena kemampuan keluarga yang minim itu saya berpikir tidak apa-apa saya sekolah sampai kelas 2 STM saja. Tapi yang membuat saya sakit hati, Bapak kemudian sering mabuk dan judi buntut yang beredar sembunyi-sembunyi itu.

Adik saya yang tiga orang, semuanya keluar sekolah. Emak berjualan goreng-gorengan yang dititipkan di warung-warung. Adik-adik saya membantu mengantarkannya. Saya berjualan koran, membantu-bantu untuk beli beras.

Saya sadar, kalau keadaan seperti ini, saya harus berjuang lebih keras. Saya mau melakukannya. Dari pagi sampai malam saya bekerja. Tidak saja jualan koran, saya juga membantu nyuci piring di warung nasi dan kadang (sambil hiburan) saya ngamen. Tapi uang yang pas-pasan itu (Emak sering gagal belajar menabung dan saya maklum), masih juga diminta Bapak untuk memasang judi kupon gelap. Bilangnya nanti juga diganti kalau angka tebakannya tepat. Selama ini belum pernah tebakan Bapak tepat. Lagi pula Emak yang taat beribadah itu tidak akan mau menerima uang dari hasil judi, saya yakin itu.

Ketika Bapak semakin sering meminta uang kepada Emak, kadang sambil marah-marah dan memukul, saya tidak kuat untuk diam. Saya mengusir Bapak. Dan begitu Bapak memukul, saya membalasnya sampai Bapak terjatuh-jatuh. Emak memarahi saya sebagai anak laknat. Saya sakit hati. Saya bingung. Mesti bagaimana saya?

Saat Emak sakit dan Bapak semakin menjadi dengan judi buntutnya, sakit hati saya semakin menggumpal, tapi saya tidak tahu sakit hati oleh siapa. Hanya untuk membawa Emak ke dokter saja saya tidak sanggup. Bapak yang semakin sering tidur entah di mana, tidak perduli. Hampir saya memukulnya lagi.

Di jalan, saat saya jualan koran, saya sering merasa punya dendam yang besar tapi tidak tahu dendam oleh siapa dan karena apa. Emak tidak bisa ke dokter. Tapi orang lain bisa dengan mobil mewah melenggang begitu saja di depan saya, sesekali bertelepon dengan handphone. Dan di seberang stopan itu, di warung jajan bertingkat, orang-orang mengeluarkan ratusan ribu untuk sekali makan.

Maka tekad saya, Emak harus ke dokter. Karena dari jualan koran tidak cukup, saya merencanakan untuk mencopet. Berhari-hari saya mengikuti bus kota, tapi saya tidak pernah berani menggerayangi saku orang. Keringat dingin malah membasahi baju. Saya gagal jadi pencopet.

Dan begitu saya melihat orang-orang belanja di toko, saya melihat Ibu memasukkan dompet ke kantong plastik. Maka saya ikuti Ibu. Di atas jembatan penyeberangan, saya pura-pura menabrak Ibu dan cepat mengambil dompet. Saya gembira ketika mendapatkan uang 300 ribu lebih.

Saya segera mendatangi Emak dan mengajaknya ke dokter. Tapi Ibu…, Emak malah menatap saya tajam. Dia menanyakan, dari mana saya dapat uang. Saya sebenarnya ingin mengatakan bahwa itu tabungan saya, atau meminjam dari teman. Tapi saya tidak bisa berbohong. Saya mengatakan sejujurnya, Emak mengalihkan pandangannya begitu saya selesai bercerita.

Di pipi keriputnya mengalir butir-butir air. Emak menangis. Ibu…, tidak pernah saya merasakan kebingungan seperti ini. Saya ingin berteriak. Sekeras-kerasnya. Sepuas-puasnya. Dengan uang 300 ribu lebih sebenarnya saya bisa makan-makan, mabuk, hura-hura. Tidak apa saya jadi pencuri. Tidak perduli dengan Ibu, dengan orang-orang yang kehilangan. Karena orang-orang pun tidak perduli kepada saya. Tapi saya tidak bisa melakukannya. Saya harus mengembalikan dompet Ibu. Maaf.”
----------------------------------------------------------------

Surat tanpa tanda tangan itu berulang kali saya baca. Berhari-hari saya mencari-cari anak muda yang bingung dan gelisah itu. Di setiap stopan tempat puluhan anak-anak berdagang dan mengamen. Dalam bus-bus kota. Di taman-taman. Tapi anak muda itu tidak pernah kelihatan lagi. Siapapun yang berada di stopan, tidak mengenal anak muda itu ketika saya menanyakannya.

Lelah mencari, di bawah pohon rindang, saya membaca dan membaca lagi surat dari pencopet itu. Surat sederhana itu membuat saya tidak tenang. Ada sesuatu yang mempengaruhi pikiran dan perasaan saya. Saya tidak lagi silau dengan segala kemewahan. Ketika Kang Dwi membawa hadiah-hadiah istimewa sepulang kunjungannya ke luar kota, saya tidak segembira biasanya.Saya malah mengusulkan oleh-oleh yang biasa saja.

Kang Dwi dan kedua anak saya mungkin aneh dengan sikap saya akhir-akhir ini. Tapi mau bagaimana, hati saya tidak bisa lagi menikmati kemewahan. Tidak ada lagi keinginan saya untuk makan di tempat-tempat yang harganya ratusan ribu sekali makan, baju-baju merk terkenal seharga jutaan, dan sebagainya.

Saya menolaknya meski Kang Dwi bilang tidak apa sekali-sekali. Saat saya ulang tahun, Kang Dwi menawarkan untuk merayakan di mana saja. Tapi saya ingin memasak di rumah, membuat makanan, dengan tangan saya sendiri. Dan siangnya, dengan dibantu Bibi Dian, lebih seratus bungkus nasi saya bikin. Diantar Kang Dwi dan kedua anak saya, nasi-nasi bungkus dibagikan kepada para pengemis, para pedagang asongan dan pengamen yang banyak di setiap stopan.

Di stopan terakhir yang kami kunjungi, saya mengajak Kang Dwi dan kedua anak saya untuk makan bersama. Diam-diam air mata mengalir di mata saya. Anna menghampiri saya dan bilang, “Mama, saya bangga jadi anak Mama.” Dan saya ingin menjadi Mama bagi ribuan anak-anak lainnya.


Kisah Nyata Menyayat Hati: Si Miskin dan Jasad Anaknya

Seandainya tidak ada hari Minggu, mungkin cerita Supriyono (38) tidak pernah menjadi Headline sebuah koran ibukota. Seandainya, biaya rumah sakit bisa gratis seperti yang dikatakan seorang SBY, cerita Supriyono dan anak bungsunya, Khairunnisa (3), tidak akan pernah terjadi.

Ah, seandainya biaya pemakaman dan harga kain kafan, semurah kita membeli kerupuk, tidak akan a
da Khairunnisa-Khairunnisa lainnya disini. Seandainya dan seandainya Supriyono tahu ini hanyalah mimpi tidur semalam, ia masih bisa mengajak Khairunnisa dan kakaknya, Muriski Saleh (6), jalan-jalan ke sebuah taman.

Minggu pagi memang bukan hari yang indah bagi Supriyono. Setelah lelah mencari sampah seharian, di bawah kolong rel kereta api Cikini, Supriyono terbangun. Ada yang beda di pagi itu, Khairunnisa terlihat nyaman tidur di dalam gerobaknya. Namun, wajahnya yang memutih membuat Supriyono curiga. Ia pun berusaha membangunkan anak bungsunya itu.

Melihat anaknya terbujur kaku. Pikiran, Supriyono melayang, beberapa waktu lalu ia tak jadi membawa Khairunnisa ke rumah sakit. Padahal, saat itu Khairunnisa demam tinggi. Karena uang yang tersisa di kantong cuma Rp 5 ribu, Supriyono cuma berdoa agar anaknya sembuh sendiri. "Saya cuma sekali bawa Khairunnisa ke puskemas, Saya tak punya uang untuk berobat lagi. Saya memulung kardus, gelas dan botol plastik. Penghasilan saya hanya Rp 10 ribu sehari. Saat itu uang saya tinggal Rp 5 ribu. Jika saya berobat, anak saya satu lagi mungkin tidak akan makan," pikir Supriyono.

Belum selesai pikirannya melayang. Supriyono kembali menangis. Duit di saku cuma Rp 6 ribu. Tak mungkin untu membeli kain kafan, menyewa ambulans dan biaya pemakaman. Sementara itu
Khaerunisa masih terbaring di gerobak.

Namun, kali ini ia tak mau mengecewakan anak gadisnya itu. "Bapak akan buat pemakaman seperti orang lainnya untukmu nak," ucap Supriyono dalam hati.

Ia pun langsung mengajak Muriski berjalan membawa gerobok berisi jenazah Khairunnisa ke Stasiun Tebet. Naik kereta api, Supriyono berniat menguburkan Khairunnisa di kampung pemulung di Kramat, Bogor. Ia berharap di sana mendapatkan bantuan dari sesama pemulung.

Dengan bermodalkan sarung lusuh, Supriyono membungkus jenazah Khairunnisa. Dengan kaus warna putih yang biasa ia pakai, Supri menutupi kepala Khaerunnisa.

Namun, Kisah sedih Supriyono belum selesai disini. Begitu Supriyono masuk ke stasiun, orang-orang yang ada di stasiun langsung mengerubunginya. Ia dicurigai telah berbuat yang tidak-tidak pada Khairunnisa. Akhirnya, ia pun digelandang ke Polsek Tebet bersama anaknya Muriski.

Terpaksa Supriyono meladeni pertanyaan-pertanyaan aneh yang dilayangkan polisi. Ia tidak mengerti, kenapa polisi tidak ada yang bertanya apa yang dapat mereka bantu kepadanya. Seandainya mereka semua itu bisa membantu. Bukannya mengirimkan Supriyono ke RSCM.

Di RSCM cerita Supriyono dan Khairunnisa terus berlanjut. Dengan alasan otopsi, pihak RSCM mau menahan Khairunnisa. Mendengar itu, Supriyono marah, ia tidak mau anaknya dibelah-belah hanya untuk kepentingan medis. Ia pun ngotot membawa Khairunnisa keluar.

Hingga Pukul 16.00 WIB, Supriyono baru bisa mengeluarkan Khairunnisa. Lagi-lagi karena tidak punya uang untuk menyewa ambulans. Supri dan Muriski terpaksa berjalan kaki sambil menggendong jenazah Khairunnisa.

Sepanjang jalan, warga yang iba memberikan uang sekedarnya untuk ongkos perjalan ke Bogor. Para pedagang di RSCM juga memberikan air minum dan makanan sebagai bekal Supri dan Muriski ke Bogor.

Hingga kini aku tidak pernah tahu, apakah Supri dan Muriski berhasil memakamkan ke Khairunnisa ke Bogor. Masih berlanjutkah kisah sedih ini? Jujur, aku tak mau cerita ini bersambung , baik bagi Supri atau ribuan orang-orang miskin lainnya yang ada di sini. Cukup sudah Khairunnisa, jangan ada yang lainnya..


YA ALLOH DIRUMAHMU AKU BERSUJUD




Ya Alloh Ya Robbi, dirumahMu aku bersujud, bersimpuh berurai air mata memohon ampunanMu. Hamba mohon Ya Alloh jadikanlah anak didik kami menjadi orang-orang yang beriman, pintar, soleh solehah, dan berguna bagi diri, keluarga, masyarakat, nusa dan bangsa. Ya Alloh Ya Robbi bimbinglah kami agar selalu dijalanMu yaitu jalan yang lurus, jalannya orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat bukan jalannya orang-orang yang Engkau murkai dan sesat. Amin amin Ya Robbal Alamin..........